Andai Ku Tau..

Langit cerah tanpa segumpal awan mendung yang dihiasi dengan bintang-bintang gemerlapan menambah indahnya malam ini. Tapi suasana seperti itu tak menyurutkan kemarahanku pada Ivan. Ivan adalah sahabatku dari SMP. Meskipun tak dapat kupungkiri aku sangat menyayanginya dan sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri. Hanya karena masalah yang sepele kami terlibat perang mulut yang mengundang tatapan remaja-remaja lain yang ada di taman ini.

“Aku udah bilang berapa kali sama kamu kan, Re. Jauhi Eric, dia itu playboy!!!” kata Ivan.

“Halah…nggak usah mungkir deh Van…bilang aja kamu jelouse kan?”balas ku nggak kalah sengit.

“Sorry ya…sapa juga yang jealouse ama kamu? Aku cuma nggak mau aja kamu disakiti sama Eric. Kalo kamu nggak percaya kamu bisa tanya semua temen-temen cewek di kelas aku. Sebagian besar dari mereka itu mantan pacarnya Eric!!!” Ivan mencoba menjelaskan.

“Oke-oke…aku akan buktiin ucapan kamu. Besok aku bakal tanya ke temen-temen cewek kamu.” Aku menanggapi ucapan Ivan.

“Aku itu sayang sama kamu Renata… Kamu itu sahabat aku dari SMP. Aku cuman nggak mau kamu disakiti sama Eric.” Ivan melanjutkan ucapannya dan sedikit menoleh ke arah lain, dia menghindari tatapan mataku.

Setelah itu Ivan mengantarku pulang ke rumah dan dia pun langsung pergi begitu aku turun dari mobilnya tanpa sepatah kata pun dan itu suatu kebiasaan Ivan kalo lagi marah. Besoknya, sewaktu habis jam kuliah aku pergi ke kantin ama Nana temen sekelas aku. Pas di kantin aku nggak sengaja denger obrolan cewek-cewek yang aku tau betul mereka itu temen sekelas Ivan.

“Eh…lo tau nggak kemaren gw liat si Eric jalan ama si Dina anak Sastra di mall.”kata salah satu cewek disitu.

“Masa sih? Bukannya dia lagi deket ama Lia?? sahut cewek yang disebelahnya.

“Setau aku Eric lagi PDKT ama Renata deh. Kemaren gw liat mereka berangkat ke kampus bareng.” lanjut cewek yang lain. Muka aku langsung memerah denger nama aku disebut-sebut ama cewek-cewek itu.

“Kayak nggak tau tingkahnya Eric aja. Emangnya kalian lupa apa kalo kalian dulu juga pernah jadi korban ke”playboy”annya si Eric???Emang nggak pernah puas yah tuh anak mainin cewek. Pengen balas dendam gw ama tuh buaya darat.!!!” kata cewek yang paling tinggi.

Ternyata bener yang dibilang Ivan. Eric emang cowok buaya darat. Aku harus minta maaf ama Ivan. Sekarang aku harus cari Ivan, biasanya sih jam segini, nih anak lagi nongkrong di parkiran. Aku langsung cabut ke parkiran mencari Ivan.

Sesampainya di parkiran, Ivan terlihat lagi ngobrol ama temen-temennya. Aku langsung nyamperin Ivan dan mengajaknya ke kafe yang biasa tempat kita nongkrong selain taman kota.

“Van, aku minta maaf ya. Aku udah tau semua tentang Eric. Mulai sekarang aku bakalan percaya ama kamu. Dan aku nggak akan deket-deket lagi sama Eric. Sebagai permintaan maaf aku, kali ini aku yang traktir deh.” rayuku pada Ivan.

“Oke, aku maafin kamu. Dan emang seharusnya kamu percaya ama aku.” kata Ivan sambil nyengir yang membuat kita berdua tertawa lepas. Sesuatu yang beberapa hari ini hilang dan sangat aku rindukan, yah kebahagiaan bisa tertawa lepas lagi bersama Ivan. Karena cuma Ivan yang bisa buat aku tertawa lepas seperti ini. Dan tak lama kemudian pesanan kami pun datang.

Hari-hari yang kami lalui kembali seperti dulu saat sebelom aku mengenal Eric, penuh keceriaan. Minggu ini Ivan mengajakku ke bandara menjemput sepupunya pulang dari Aussie. Namanya Kevin. Kevin ke Aussie karena pertukaran mahasiswa ke luarnegri dari kampusnya di ITB. Kevin adalah sepupu Ivan yang dari Bandung. Tapi karena orangtuanya udah meninggal en dia udah nggak punya sodara lagi di Bandung, yah kemana lagi klo dia nggak pulang ke rumah Ivan.

Sejak pertemuan di bandara itu akhirnya aku mengenal Kevin. Dan kami bertiga pun bersahabat, aku, Ivan, dan Kevin tentunya. Lama kelamaan aku mulai merasakan perasaan yang berbeda pada Kevin. Aku pun menceritakannya pada Ivan dan mulanya dia menanggapi dingin sama seperti setiap kali aku menceritakan perasaanku saat menyukai seorang cowok. Dan sehari semalam setelah itu seperti biasa Ivan baru mau menanggapi ceritaku. Entah kenapa dia selalu bersikap seperti itu?

Besoknya Ivan menemuiku dan kali ini dia mendukung perasaanku. Sepertinya aku melihat ada kejanggalan pada Ivan tapi whateverlah yang penting sekarang Ivan mau mensupport aku. Akhirnya aku jadian dengan Kevin. Aku bahagia banget. Aku dan Kevin mentraktir Ivan di kafe dan kita makan-makan sampai perut kita buncit semua.

***

Suatu malam aku dan Kevin terkejut melihat Ivan pulang dengan muka sepucat itu. Saat itu aku dan Kevin sedang ngobrol di rumah Ivan. Kami langsung membawa Ivan ke kamar. Setelah minum obat yang ada di laci, Ivan pun berangsur-angsur membaik. Dan kami berdua meninggalkan Ivan agar Ivan bisa istirahat.

Kevin pun mengantar ku pulang meskipun aku sangat mengkhawatirkan keadaan Ivan. Terlintas sebuah pertanyaan di pikiranku, “Sejak kapan Ivan sakit? Kenapa dia nggak pernah cerita kalo dia sakit? Sepertinya ada yang disembunyiin Ivan dari aku.”

Di kampus aku bertemu Ivan yang lagi nongkrong di parkiran seperti biasanya. Dia terlihat sehat-sehat aja seperti kejadian kemaren malam itu tidak pernah ada. Mulanya aku berniat menjenguk Ivan setelah mata kuliahku selesai hari ini. Aku langsung nyamperin Ivan dan mengajaknya ke kafe.

“Van, sepertinya kamu nyembunyiin sesuatu dari aku.” tanyaku langsung saat kami sampai di kafe. Ivan pura-pura tidak mendengar ucapanku dan malah memanggil waitres. Setelah waitres itu pergi aku mengulangi pertanyaanku.

“Van, kamu percaya kan sama aku begitu juga sebaliknya. Dan harusnya diantara kita nggak ada yang dirahasiain. Kenapa kamu nggak pernah cerita kalo kamu sakit?kenapa Van?” tanyaku sambil meyakinkan Ivan.

“Re, aku tuh nggak kenapa-kenapa. Kemaren itu aku cuman kecapekan aja abis main streetball.” Ivan coba menjelaskan.

“Bener?kamu nggak kenapa-kenapa?” tanyaku meragukan penjelasan Ivan.

“Iya Renata…” jawab Ivan sambil tersenyum tulus.

Sebenernya aku masih belum yakin 100% tapi aku mencoba percaya pada Ivan.

Seminggu kemudian setelah mengantarku pulang abis ngedate ama Kevin sejam kemudian Kevin menelponku dengan suara orang seperti sedang panik.

Hon, cepet ke Rumah Sakit, Ivan kritis ntar aku jelasin semua kalo kamu udah di sini.” kata Kevin memberitauku. Aku langsung cabut ke rumah sakit dan aku mendapati Kevin duduk tertunduk di depan UGD.

Hon, gimana keadaan Ivan? Ivan sakit apa? gimana ceritanya Ivan bisa kritis kayak gini?” tanyaku pada Kevin dengan segunung pertanyaan.

“Tenang dulu hon, Ivan udah ditangani ama dokter. Kita tunggu aja sambil berdo’a. Tadi pas aku nyampe rumah aku udah mendapati Ivan pingsan di ruang tamu, ya udah aku langsung aja bawa ke rumah sakit.” Kevin menjelaskan panjang lebar. Nggak lama kemudian Dokter keluar.

“Dok, gimana keadaan Ivan, Dok?”aku langsung menyerbu dokter dengan pertanyaan.

“Tenang aja, Ivan sudah tidak kritis lagi, dia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Anda bisa menemaninya sampai dia siuman tapi jangan diajak ngobrol terlalu banyak, dia perlu istirahat banyak.” kata dokter menjelaskan.

“Terimakasih, Dok.” balas Kevin. Dan aku langsung mengajak Kevin ke ruang perawatan Ivan. Ivan masih belom siuman tapi aku akan menunggunya sampai dia bangun.

Aku ketiduran di samping Ivan, dan terbangun karena Ivan memanggilku dan tangannya membelai rambutku yang bisa di bilang mengacak-acak rambutku karena belaiannya terkesan iseng.

“Renata, bangun, Re, uda siang nih!” kata Ivan sambil membangunkanku.

“Ivan… Kamu udah baikan? Kamu itu masih sakit gini bisa-bisanya bercanda.” sahutku sambil menggelitik perut Ivan dan merapikan rambutku. Kami pun tertawa. Kevin yang tidur di sofa pun bangun mendengar percakapan kami.

“Van, lo udah baikan? Lo tuh ya bisanya bikin Renata khawatir aja.” serbu Kevin sambil menguap.

“Van, kenapa sih kamu nggak jujur ama aku kalo kamu sakit? tanyaku lagi.

“Paling aku cuman drop aja karena kecapekan, Re. Besok atau lusa pasti udah dibolehin pulang ama dokter.” lanjut Ivan.

Udah tiga hari ini keadaan Ivan nggak juga membaik. Aku dan Kevin akhirnya memutuskan bertanya pada dokter sebenernya Ivan sakit apa? Sebenernya dokter nggak mau memberitahu karena permintaan Ivan untuk tidak memberitahu siapa-siapa tentang penyakitnya. Tapi untungnya Kevin berhasil ngerayu dokter itu sehingga kami tau ternyata Ivan menderita Leukimia. Dan dokter meminta kami berpura-pura tidak mengetahui penyakit Ivan dan bersikap biasa aja di depan Ivan.

Beberapa hari kemudian Ivan kritis lagi. Dan saat-saat itu pun datang. Yah… Saat-saat terakhir aku bisa melihat Ivan. Aku nggak ingin Ivan pergi. Aku menangis sambil menggenggam terus tangan Ivan.

“Van, kamu harus bertahan, kamu bisa Van! Please jangan tinggalin aku Van…” kataku sambil terus menangis. Kevin memelukku berusaha menguatkan aku.

“Vin, tolong jagain Renata bwat aku ya…” katanya pada Kevin.

“Van, kamu bisa sembuh setelah operasi dan menjalani terapi… Please Van, jangan tinggalin aku… Kamu percaya sama aku kan? Kamu bisa sembuh Van…” rengekku sambil setengah berteriak.

“Kamu jangan nangis, Re. Aku pengen liat kamu senyum.” balas Ivan.

“Iya aku bakalan senyum bwat kamu tapi jangan pergi ya Vaan…” lanjutku terisak sambil berusaha tersenyum.

“Nih… hiiii… “ kataku lalu memaksakan sebuah senyuman bwat Ivan.

“Nah gitu donk. Makasih bwat senyumnya. Selamat tinggal Re, selalu senyum bwat aku ya…” setelah itu Ivan memejamkan matanya dan menghembuskan nafas terakhirnya.

“Ivan…. Jangan tinggalin aku, Van… Van bangun, Van… Ivan…” aku menangis di pelukan Kevin. Kevin berusaha menguatkan aku untuk menerima kenyataan ini. Lalu Kevin keluar memanggil dokter dan suster. Mereka sudah berusaha sebisa mungkin tapi Ivan tetap juga nggak bisa tertolong.

Setelah pulang dari pemakaman Ivan, Kevin mengajakku ke taman biasa kita nongkrong bertiga. Duduk dikursi yang sama, tapi tidak seperti biasanya kali ini tidak ada Ivan, tidak ada lagi gurauannya yang bisa membuatku tertawa. Tidak ada lagi tawa lepas Ivan dan segala candaannya. Aku terdiam terpaku. Lalu Kevin memberiku sebuah buku dan menceritakan kejadian semalam seblom Ivan pergi.

Malam itu saat aku ke kantin membeli makanan untuk kami, Ivan memanggil Kevin dan berpesan.

“Vin, tolong jagain Renata ya… Dia orang yang paling gw sayangi, jangan pernah kecewain dia, bikin dia selalu tersenyum. Nanti klo gw udah pergi lo ambil buku di laci no. 3 di kamar gw. Setelah pemakaman gw lo kasih buku itu ke Renata.”

“Gw bakalan jagain Renata bwat lo Van, gw juga sayang banget ama dia. Gw nggak akan ngecewain dia. Gw akan bikin Renata selalu tersenyum seperti yang lo harepin. Tapi lo nggak akan pergi secepat ini kan, Van?”

Belom sempat Ivan menjawab aku udah kembali membawa makanan untuk kami. Ivan pun membelokkan arah pembicaraan yang semula dan yang aku lihat dia dan Kevin sedang tertawa dan entah membicarakan apa.

Setelah Kevin selesai bercerita, aku membuka halaman pertama buku itu dan membaca kalimat pertamanya, kedua, dan halaman selanjutnya,….

Renata, kamu cewek yang ceria, riang dan selalu tersenyum. Aku seneng bisa jadi sahabat kamu waktu SMP dulu. Tapi lama-lama, aku punya perasaan yang lebih dari sahabat. Yah,,, aku menyayangimu Re…

Aku terkejut membaca kalimat itu. Ternyata selama ini Ivan menyayangiku lebih dari sahabat. Kenapa aku nggak menyadarinya? Aku pun melanjutkan membaca kalimat selanjutnya.

Re, aku memang pecundang… aku nggak berani mengatakannya padamu. Aku takut kamu menolakku Re,.. Aku sakit hati dan telingaku serasa sakit saat kamu menceritakan cowok-cowok yang lagi kamu sukai Re,,, tapi aku harus mendengarnya. Dan maaf kalo aku berulang kali melarangmu mendekati cowok-cowok itu. Aku nggak rela kalo kamu deket sama mereka apalagi kalo kamu disakiti mereka. Oleh karena itu, aku mengarang-ngarang cerita tentang cowok-cowok itu termasuk tentang Eric. Dan obrolan teman-teman cewekku di kantin itu semua aku yang ngrencanain. Maafin aku Re,… Cuma itu yang bisa ku lakukan untuk menjauhkanmu dari cowok-cowok itu.

Air mataku pun bergulir lagi membasahi pipiku dan menetes pada buku itu…. aku pun melanjutkan membaca.

Aku tau Re, aku nggak bisa selamanya menutupi semua rahasia ini dan aku pun melihat kamu meragukan penjelasanku dan kamu bisa melihat kejanggalan yang terjadi padaku akhir-akhir ini. Aku terkena leukemia Re, dan aku tau nggak lama lagi aku akan pergi. Dan untungnya Kevin pulang ke Indonesia dan aku tau apa yang harus aku lakuin karena aku nggak bisa selamanya ngejagain kamu Re. Dan kamu juga pernah cerita tentang perasaan kamu ke Kevin, lalu aku mencoba mendekatkan kamu dan Kevin dan akhirnya kalian jadian. Persis seperti perkiraanku. Karena menurutku cuma Kevin yang bisa ngejagain kamu setelah aku pergi.

Kamu jahat Van, kenapa kamu nggak mau pernah jujur tentang penyakit kamu? Sekarang semua pertanyaanku atas semua kejanggalan-kejanggalan yang aku liat dari kamu udah terjawab, Van. Kembali Kevin berusaha menenangkan aku yang makin terisak.

Saat kamu baca tulisan aku ini, aku udah bahagia di sana Re, aku tau pasti sekarang kamu lagi nangis, kamu jangan menangis karena akan membuatku sedih. Aku akan tetap menjagamu dari sana. Ada Kevin yang akan selalu bersamamu. Selalu tersenyumlah untukku Re,…=) Ivan

Andai ku tau… sejak semula aku akan berusaha mencintaimu Van…

Andai ku tau… kamu akan meninggalkanku secepat ini aku pasti akan menghabiskan banyak waktuku di saat-saat terakhirmu.

Aku akan mengenang semua kenangan indah kita Van, aku akan selalu tersenyum untukmu… Smoga kamu bahagia di sana dan skarang, kamu pasti sedang melihat aku dan Kevin sambil tersenyum.

Hmmm… Andai Ku Tau, Van….

The ENd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar